Setiap daerah pasti mempunyai tokoh yang di anggap sesepuh atau keramat, baik itu pembabat atau penyebar agama di daerah tersebut. Cerita mengenai perjalanan tokoh tersebut sedikit banyak dibumbui dengan cerita folklore sebagai kebiasaan dari masyarakat terutama di Jawa. Cerita lisan yang acap kali di bumbui cerita folklore ini terus dipertahankan hingga kini di jaman yang serba modern. Meski jaman sudah serba modern dengan suguhan informasi yang terus dikaji namun cerita folklore masih tetap tumbuh subur terutama di daerah yang erat dengan unsur Jawa. Salah satu tempat yang masih ditemui folklore adalah Kabupaten Trenggalek, kota kecil di pesisir selatan Jawa Timur yang pernah dihapus dari peta. Unsur pantai selatang sangat berpengaruh pada cerita-cerita yang beredar mulai dari Ratu Pantai Selatan hingga Minak Sopal yang akan menjadi tokoh utama dalam cerita ini.
Menurut cerita, pada masa Mataraam dulu pernah ada seorang yang bertugas mengatur daerah di daerah timur Ponorogo yang di identifikasikan sebagai Kabupaten Trenggalek sekarang. Petugas tersebut adalah Ki Ageng Galek yang di mungkinkan adalah seorang yang berkuasa di wilayah tersebut. Dalam cerita juga disebutkan bahwa Ki Ageng yang makanya ada di Setono-Trenggalek adalah penyiar agama di Trenggalek yang tertua dengan adanya bukti peninggalan. Ki Ageng dimungkinkan adalah seorang penyiar agama islam karena dirinya di bantu oleh 6 santri. Tetapi dalam sumber lain 6 santri ini merupakan anak dan bahkan adalah kerabat dari Ki Ageng. Keenam santrinya tersebut adalah Ki Joyonagoro di Jonegaran, Ki Sosuto di Sosutan, Ki Dobongso do Dobangsan, Ki Ardimanggala di Redimenggalan, Ki Surohandoko di Surondakan, dan Ki Singomanggala di Singomenggalan.
Setelah beberapa waktu, datang lagi penyiar agama yang masih muda dan perjaka bernama Minak Sraba yang mendirikan padepokan di daerah Bagong. Bersamaan dengan berdirinya Minak Sraba, Ki Ageng Galek mendapat amanah untuk mengasuh seorang putri dari Majapahit yang bernama Putri Amisayu. Dinamakan demikian karena putri tersebut meskipun parasnya cantik namun dia memiliki penyakit kulit yang sukar disembuhkan. Luka tersebut memiliki bau yang busuk. Ki Ageng Galek berusaha untuk menyembuhkan Putri Amisayu dengan berbagai pengetahuan dan obat-obatan yang ia miliki. Namun semua usaha itupun tidak memberi hasil yang signifikan. Putri Amisayu yang mengetahui hal tersebut merasa putus asa sehingga dia membuat sayembara. Bagi laki-laki yang bisa menyembuhkannya maka akan dijadikan suami dan jika yang dapat menyembuhkannya adalah perempuan maka dia akan di jadikan saudara.
Mendengar sayembara tersebut, Minak Sraba berniat menyembuhkannya. Usaha Minak Sraba tersebut ternyata berhasil, dan sesuai janjinya maka Putri Amisayu mau menjadi istri dari Minak Sraba. Sampai mereka menikah dan mempunyai anak, Putri Amisayu tidak mengetahui bahwa suaminya adalah seorang muslim. Baru setelah suatu ketika pada petang hari Putri Amisayu baru mengetahui bahwa suaminya adalah seorang muslim. Putri yang mengetahui hal tersebut merasa kaget karena waktu itu masyarakat sekitar menganut agama Hindu. Akhirnya Minak Sraba meninggalkan Putri Amisayu karena sang istri belum siap hidup bersama seorang muslim dan berpesan jika anak mereka nanti lahir dengan jenis kelamin laki-laki maka anak tersebut bernama Minak Sopal.
Setelah Minak Sopal tumbuh dewasa, dia muali bertanya kepada ibunya mengenai siapa sebenarnya ayahnya. Akhirnya Putri Amisayu menceritakan kejadian yang sesungguhnya kepada anaknya tersebut. Mendengar cerita dari ibunya, Minak Sopal bergegas mencari ayahnya ke tempat yang telah disebutkan ibunya. Sesampainya di padepokan yang dimaksud, Minak Sopal langsung diajarkan mengenai syariat islam oleh ayahnya. Pendidikan agama islam yang diajarkan oleh ayahnya dalam waktu yang cukup lama membuat anaknya menjadi seorang yang sangat religious dan mengharapkan bahwa masyarakat sekitar juga menjadi muslim. Untuk itu ia mencari cara agar masyarakat tergerak untuk memeluk islam. Karena masyarakat waktu itu bekerja sebagai petani dan area sawahnya sering dilanda banjir, Minak Sopal bermaksud mendirikan sebuah bendungan atau dam untuk membantu warga. Usaha demi usaha Minak Sopal gagal. Karena itu ia meminta saran kepada ayahnya untuk membantu membuat bendungan tersebut.
Ayahnya menyuruh Minak Sopal untuk mencari bantuan kepada Mbok Rondo Krandon. Minak Sopal akhirnya mengirim utusan ke Mbok Rondo Krandon. Mbok Rondo tidak keberatan membantu Minak Sopal dan akhirnya mengirimkan salah satu bawahannya untuk membantu proses pembuatan bendungan. Singkat cerita setelah bantuan tersebut akhirnya bendungan yang di idam-idamkan warga akhirnya dapat terselesaikan. Sawah yang biasanya mengalami gagal panen karena selalu terendam banjir sekarang telah terbebas dari banjir dan hasil panen panen dapat dihasilkan secara maksimal. Karena itu sedikit demi sedikit masyarakat sekitar bersedia memluk islam dan meninggalkan kehidupan Hindu. Usahanya sebagai penyiar islam ternyata berhasil dan secara angka islam telah mengakar dan menjadi kepercayaan seluruh masyarakat Trenggalek. Terbukti dari sejak adanya Minak Sopal sampai sekarang sudah tidak ada lagi perkembangan kuil ataupun kuil di wilayah Trenggalek. Malah yang mengalami perkembangan adalah banyaknya bangunan masjid atau mushola di wilayah Trenggalek.
Untuk mengingat jasa dari Minak Sopal tersebut, di dam yang dulunya di bangun oleh Minak Sopal yang sekarang dikenal Dam Bagongan selalu diadakan Tradisi Nyadran tiap tahunnya. Meskipun namanya Nyadran, namun upacara ini berbeda dengan upacara Nyadran pada umumnya. Nyadran di Ngantru ini jelas tujuannya yaitu untuk memperingati keberhasilan Minak Sopal membangun dam untuk membantu masyarakat sekitar. Upacara ini dilakukan setiap tahun pada Jum’at kliwon di bulan Selo pada kalender Jawa. Dimungkinkan hari tersebut adalah selesainya dam tersebut di bangun. Ini menjadi bukti bahwa penyebaran islam di daerah Trenggalek melalui jalan yang damai dan dari usaha yang dilakukan oleh Minak Sopal nantinya menghasilkan kebudayaan yang menjadi icon dari Kabupaten Trenggalek.
Menurut cerita, pada masa Mataraam dulu pernah ada seorang yang bertugas mengatur daerah di daerah timur Ponorogo yang di identifikasikan sebagai Kabupaten Trenggalek sekarang. Petugas tersebut adalah Ki Ageng Galek yang di mungkinkan adalah seorang yang berkuasa di wilayah tersebut. Dalam cerita juga disebutkan bahwa Ki Ageng yang makanya ada di Setono-Trenggalek adalah penyiar agama di Trenggalek yang tertua dengan adanya bukti peninggalan. Ki Ageng dimungkinkan adalah seorang penyiar agama islam karena dirinya di bantu oleh 6 santri. Tetapi dalam sumber lain 6 santri ini merupakan anak dan bahkan adalah kerabat dari Ki Ageng. Keenam santrinya tersebut adalah Ki Joyonagoro di Jonegaran, Ki Sosuto di Sosutan, Ki Dobongso do Dobangsan, Ki Ardimanggala di Redimenggalan, Ki Surohandoko di Surondakan, dan Ki Singomanggala di Singomenggalan.
Setelah beberapa waktu, datang lagi penyiar agama yang masih muda dan perjaka bernama Minak Sraba yang mendirikan padepokan di daerah Bagong. Bersamaan dengan berdirinya Minak Sraba, Ki Ageng Galek mendapat amanah untuk mengasuh seorang putri dari Majapahit yang bernama Putri Amisayu. Dinamakan demikian karena putri tersebut meskipun parasnya cantik namun dia memiliki penyakit kulit yang sukar disembuhkan. Luka tersebut memiliki bau yang busuk. Ki Ageng Galek berusaha untuk menyembuhkan Putri Amisayu dengan berbagai pengetahuan dan obat-obatan yang ia miliki. Namun semua usaha itupun tidak memberi hasil yang signifikan. Putri Amisayu yang mengetahui hal tersebut merasa putus asa sehingga dia membuat sayembara. Bagi laki-laki yang bisa menyembuhkannya maka akan dijadikan suami dan jika yang dapat menyembuhkannya adalah perempuan maka dia akan di jadikan saudara.
Mendengar sayembara tersebut, Minak Sraba berniat menyembuhkannya. Usaha Minak Sraba tersebut ternyata berhasil, dan sesuai janjinya maka Putri Amisayu mau menjadi istri dari Minak Sraba. Sampai mereka menikah dan mempunyai anak, Putri Amisayu tidak mengetahui bahwa suaminya adalah seorang muslim. Baru setelah suatu ketika pada petang hari Putri Amisayu baru mengetahui bahwa suaminya adalah seorang muslim. Putri yang mengetahui hal tersebut merasa kaget karena waktu itu masyarakat sekitar menganut agama Hindu. Akhirnya Minak Sraba meninggalkan Putri Amisayu karena sang istri belum siap hidup bersama seorang muslim dan berpesan jika anak mereka nanti lahir dengan jenis kelamin laki-laki maka anak tersebut bernama Minak Sopal.
Setelah Minak Sopal tumbuh dewasa, dia muali bertanya kepada ibunya mengenai siapa sebenarnya ayahnya. Akhirnya Putri Amisayu menceritakan kejadian yang sesungguhnya kepada anaknya tersebut. Mendengar cerita dari ibunya, Minak Sopal bergegas mencari ayahnya ke tempat yang telah disebutkan ibunya. Sesampainya di padepokan yang dimaksud, Minak Sopal langsung diajarkan mengenai syariat islam oleh ayahnya. Pendidikan agama islam yang diajarkan oleh ayahnya dalam waktu yang cukup lama membuat anaknya menjadi seorang yang sangat religious dan mengharapkan bahwa masyarakat sekitar juga menjadi muslim. Untuk itu ia mencari cara agar masyarakat tergerak untuk memeluk islam. Karena masyarakat waktu itu bekerja sebagai petani dan area sawahnya sering dilanda banjir, Minak Sopal bermaksud mendirikan sebuah bendungan atau dam untuk membantu warga. Usaha demi usaha Minak Sopal gagal. Karena itu ia meminta saran kepada ayahnya untuk membantu membuat bendungan tersebut.
Ayahnya menyuruh Minak Sopal untuk mencari bantuan kepada Mbok Rondo Krandon. Minak Sopal akhirnya mengirim utusan ke Mbok Rondo Krandon. Mbok Rondo tidak keberatan membantu Minak Sopal dan akhirnya mengirimkan salah satu bawahannya untuk membantu proses pembuatan bendungan. Singkat cerita setelah bantuan tersebut akhirnya bendungan yang di idam-idamkan warga akhirnya dapat terselesaikan. Sawah yang biasanya mengalami gagal panen karena selalu terendam banjir sekarang telah terbebas dari banjir dan hasil panen panen dapat dihasilkan secara maksimal. Karena itu sedikit demi sedikit masyarakat sekitar bersedia memluk islam dan meninggalkan kehidupan Hindu. Usahanya sebagai penyiar islam ternyata berhasil dan secara angka islam telah mengakar dan menjadi kepercayaan seluruh masyarakat Trenggalek. Terbukti dari sejak adanya Minak Sopal sampai sekarang sudah tidak ada lagi perkembangan kuil ataupun kuil di wilayah Trenggalek. Malah yang mengalami perkembangan adalah banyaknya bangunan masjid atau mushola di wilayah Trenggalek.
Untuk mengingat jasa dari Minak Sopal tersebut, di dam yang dulunya di bangun oleh Minak Sopal yang sekarang dikenal Dam Bagongan selalu diadakan Tradisi Nyadran tiap tahunnya. Meskipun namanya Nyadran, namun upacara ini berbeda dengan upacara Nyadran pada umumnya. Nyadran di Ngantru ini jelas tujuannya yaitu untuk memperingati keberhasilan Minak Sopal membangun dam untuk membantu masyarakat sekitar. Upacara ini dilakukan setiap tahun pada Jum’at kliwon di bulan Selo pada kalender Jawa. Dimungkinkan hari tersebut adalah selesainya dam tersebut di bangun. Ini menjadi bukti bahwa penyebaran islam di daerah Trenggalek melalui jalan yang damai dan dari usaha yang dilakukan oleh Minak Sopal nantinya menghasilkan kebudayaan yang menjadi icon dari Kabupaten Trenggalek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar